Sabtu, 09 Juni 2012

PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI TENTANG FILSAFAT AGAMA DAN HAKIKAT TUHAN


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Al-Kindī (185-260 H) dikenal sebagai filosof muslim yang berusaha mengkompromikan antara teori filsafat dan agama dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu yang benar (knowledge of the truth). Ia dikenal sebagai filosof yang pertama kali membwa sistem pemikiran yang berdasarkan logika filsafat Yunani. Tujuan filsafatnya adalah mencari yang benar. Mencari yang benar itu menurut al-Kindī tidak lain sama halnya dengan yang dipraktikkan dalam mempelajari agama. Kajian tentang sesuatu yang benar abolut ini bagi al-Kindī adalah pengkajian konsep Tuhan.
Konsep ketuhanan al-Kindī dibangun atas dasar metafisika. Hal ini yang membedakan dengan filosof Yunani,  Aristoteles. Dalam beberapa hal, doktrin-doktrin filosofisnya dan segi peritilahan, al-Kindī mengadopsi dari Aristoteles, akan tetapi hal tersebut tidak diambil secara penuh oleh al-Kindī, akan tetapi diadapsi dan disaring sehingga hasil ijtihadnya berbeda dari sumber asalnya.
Maka, konsep-konsep yang lainnya yang diturunkan dari konsep Tuhan akan hadir dalam bentuk berbeda pula. Filsafat al-Kindī memiliki kekhasan sendiri, produk ijtihadnya akan membedakan baik dengan Aristoteles maupun filosof muslim setelahnya. Bahkan filasafat al-Kindī memiliki corak sendiri. Orientasi Filsafat, tentang Keesaan Tuhan, teori penciptaan alam adalah diantara aspek yang berseberangan dengan filsafat Yunani.
Meskipun begitu, pemikiran al-Kindī yang dikatakan mirip dengan sistem rasionalitas Mu’tazilah mendapat kritikan oleh para ulama’. Karyanya yang berjudul Risālah fi Hudūd al-Asyya’ yang berbicara eksistensi alam yang dianggap bersumber dari tradisi Yunani dan adapsi Mu’tazilah ditentang kaum muslim. Walau begitu, beberapa pemikirannya tetap perlu diapresiasi terutama yang memberi sumbangan kepada sains Islam, seperti teori optikanya yang dirujuk oleh ilmuan Barat, Roger Bacon, yang  diterjemahkan ke bahasa latin. Secara khusus, tulisan ini mengkaji konsep ketuhanan menurut al-Kindī, sebelum itu, akan dipaparkan terlebih dahulu latar belakang sosial-intelektual al-Kindī.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat di rumuskan suatu masalah antara lain:
1.      Bagaimana Biografi Singkat Tentang Al-Kindi?
2.      Bagaimana pemikiran Al-Kindi tentang Filsafat dan Agama?
3.      Bagaimana pemikiran Al-Kindi tentang Tuhan?

C.     Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain adalah untuk mengetahui:
1.      Biografi Singkat Tentang Al-Kindi.
2.      Pemikiran Al-Kindi tentang Filsafat dan Agama.
3.      Pemikiran Al-Kindi tentang Tuhan.














BAB II
PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI TENTANG FILSAFAT AGAMA
DAN HAKIKAT TUHAN

A.     Sejarah Singkat Al-Kindi
Al-Kindi memiliki nama lengkap, yaitu Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi. Lahir di kota Kufah, Irak pada tahun 801 M/185 H. Al-Kindi merupakan seorang bangsawan. Gelar al-Kindi dinisbatkan pada nama suku Kindah di wilayah Arabia Selatan. Ayahnya, Ishaq, adalah gubernur Kufah di masa pemerintahan al-Mahdi (775-785) dan al-Rasyid (786-809). Al-Kindi adalah filosof Arab pertama yang memelopori penerjemahan sekaligus mengenalkan tulisan atau karya-karya para filosof Yunani seperti Aristoteles dan Plotinus, Sayangnya ada sebuah karya Plotinus yang di terjemahkannya sebagai karangan Aristoteles dan berjudul ”Teologi menurut Aristoteles”, sehingga di kemudian hari ada sedikit kebingungan. Al-Kindi banyak berperan terutama pada abad pertengahan di masa pemerintahan khalifah al-Ma`mun (813-833) yang mengundangnya untuk mengajar di Baitul Hikmah. Al-Kindi hidup di masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, mulai dari khalifah al-Amin (809-813), al-Ma`mun (813-833), al-Mu’tashim (833-842), al-Watsiq (842-847), dan al-Mutawakkil (847-861).[1]
Al-Kindi hidup dalam atmosfer intelektualisme yang dinamis saat itu, khususnya di Baghdad dan Kufah, yang berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan: filsafat, geometri, astronomi, kedokteran, matematika, dan sebagainya. Al-Kindi tidak hanya dikenal sebagai penerjemah, tetapi juga menguasai beragam disiplin ilmu lainnya, seperti kedokteran, matematika, dan astronomi. Al-Kindi berhasil mengubah sekaligus mengembangkan beberapa istilah yang menarik perhatian para filosof sesudahnya, seperti: kata al-jirm menjadi al-jism; kata at-tawahhum (imaginasi) menjadi at-takhayyul; kata at-thīnah menjadi al-māddah; dan sebagainya.[2]
Ketika khalifah al-Mutawakkil memerintah, mazhab resmi negara (yang sebelumnya menganut mazhab/aliran Mu’tazilah) diganti menjadi Asy’ariyah. Dua orang putra Ibnu Syakir, Muhammad dan Ahmad, mencoba menghasut al-Mutawakkil dengan mengatakan bahwa orang yang mempelajari filsafat cenderung kurang hormat pada agama. Al-Mutawakkil kemudian memerintahkan agar al-Kindi didera dan perpustakaannya yang bernama Kindiyyah disita (meski kemudian dikembalikan). Al-Kindi meninggal pada tahun 866 M/252 H.

B.     Pemikiran Al-Kindi tentang Filsafat dan Agama
Menurut al-Kindī filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang yang benar (knowledge of truth). Konsepsi filsafat al-Kindī secara umum memusatkan pada penjelasan tentang metafisika dan studi tentang kebenaran. Pencapaian kebenaran menurut al-Kindī adalah dengan filsafat. Oleh sebab itu, ilmu filsafat menurut al-Kindī adalah ilmu yang paling mulya. Ia mengatakan:”Sesunggunghnya ilmu manusia yang derajatnya paling mulya adalah ilmu filosof. Dengan ilmu ini hakikat ilmu didefinisikan, dan tujuan filosof memperlajari filsafat adalah mengetahui Al-Haq (Allah)”.[3] Sedangkan ilmu filsafat yang paling mulya dan paling tinggi derajatnya adalah Filsafat yang Pertama (Falsafah al-‘Ūlā). Yakni ilmu tentang al-Haq al- Ūlā yang menjadi Sebab segala sesuatu (‘illah kulli syai’) yang tidak lain adalah Tuhan Allah SWT.[4]
Pada asas pokok filsafatnya ini, al-Kindī mempertemukan dengan agama. Dalam arti, bahwa tujuan filsafatnya dan tujuan pokok agama adalah sama, yakni keduanya adalah ilmu dalam rangka mencapai kepada yang benar. Kejelasan hubungan antar keduanya dapat dilihat dari penjelasan al-Kindī, bahwa dasar antar filsafat dan agama memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut terdapat dalam empat hal; pertama, ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, kedua, wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian, ketiga, menurut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama dan keempat, teologi adalah bagian dari filsafat dan umat Islam wajib belajar teologi juga filsafat.[5]
Bagi al-Kindī, filsafat Islam didasarkan kepada al-Qur’ān. Al-Qur’ān memberikan pemecahan-pemecahan atas masalah yang hakiki, misalnya tentang teori penciptaan, hari kebangkitan, kiamat dsb. Hal tersebut menurut al-Kindī sangat meyakinkan, jelas dan menyeluruh, sehingga al-Qur’ān telah mengungguli dalih-dalih para filsuf.[6]
Dengan pemikirannya tersebut, ilmu filsafat oleh al-Kindī ditempatkan sebagai bagian dari budaya Islam. Meskipun dalam beberapa teoritik, ia mengadopasi dari Aristoteles Neo-Platonis, akan tetapi gagasan-gagasannya dari mengintegrasikan filsafat dan agama itu menghasilkan gagasan baru. Tampak sekali, ia berusahan mendamaikan antara warisan Yunani yang tidak bertentangan dengan syari’at dengan agama Islam, dengan asas-asas yang berdasarkan metafisik, bukan fisik belaka. Ia menggunakan istilah-istilah filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dia dikenal orang yang pertama menyususn kosa kata Arab untuk istilah-istilah filsafat dan menetapkan definisi berbagai kategori. Untuk tujuan ini dia menulis sebuah buku Risālah fī Hudūd al-Asyyā wa Rusūmihā.[7]
Karena asas yang dibangun di atasnya adalah agama, maka ia menyatakan bahwa filsafat mengikuti jalur ahli logika dan memandang bahwa agama sebagai sebuah ilmu rabbāniyah dan memposisikannya di atas filafat. Ilmu ini diambil melalui jalur para Nabi. Melalui penafsiran filosofis, agama menjadi selaras dengan filsafat. Pencapaian kebenaran agama, disamping dengan wahyu, sebagai sumber pokok ilmu pengetahuan juga mempergunakan akal. Sedangakan falsafah juga mempergunakan akal, bahkan falsafah al-Kindī juga mendasarkan pada wahyu, hal itu dibuktikan dalam beberapa konsep dan teorinya secara diametral bersebarangan dengan konsepsi Aristoteles maupun Plato, seperti konsep keesaan Tuhan, alam, dan penciptaan dari ketiadaan.
Jika konsep kunci (konsep Tuhan) berseberangan dengan filsafat Aristoteles, berarti pandangan hidup (worldview) – nya juga berbeda. Sebab, sebuah teori atau konsep lahir dari worldview seseorang dan akan menjadi perbeda teori tersebut jika pandangannya tentang Tuhan berbeda. Thomas F Wall mengatakan, percaya pada Tuhan berimplikasi pada kepercayaan bahwa sumber pengetahuan dan moralitas adalah Tuhan dan sebaliknya tidak percaya pada Tuhan akan menghasilkan kepercayaan bahwa sumber pengetahuan adalah subyektifitas manusia.[8]
Dalam konteks epistemologi Islam, Tuhan adalah tema sentral. Ia adalah sumber kebenaran yang utama yang mutlak. Maka, filsafat al-Kindī bisa dikatakan telah memasuki konteks ini. Sebab, ia memberi penekanan pada konsep keilahian. Ia mengatakan filsafat yang pertama (al-Falsafah al-Ūlā) adalah pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan penyebab dari semua kebenaran.[9]
Sang Penyebab semua sebab itulah adalah Tuhan. Dengan demikian, filsafat al-Kindī adalah membahas soal Tuhan dan agama menjadi dasar filsafatnya. Dengan demikian kerja filsafat yang dilakukan al-Kindī adalah mengharmonisasi antara fislafat dan agama, bahwa antar keduanya tidak ada perbedaan yang kontras. Ia mengatakan “Falsafah yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah falsafah utama, yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar”.[10] Hal ini yang membedakan dengan orientasi filafat Aristotele, bahwa filsafat adalah ilmu tentang wujud karena yang wujud memiliki kebenaran. Berarti, orienatasi filsafat al-Kindī adalah metafisik sedangan Aristotele adalah dibangun di atas teori fisika.

C.     Pemikiran Al-Kindi tentang Hakikat Tuhan
Tuhan menurut Al-Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa, Azali, ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia hanyalah keEsaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Pembahasan utama filasfatnya adalah tentang konsep ketuhanan. Karena filsafat menurutnya, adalah menyelidiki kebenaran, maka filafat pertamanya adalah pengetahuan tentang Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq al-Awwal), Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wāhid) dan penyebab semua kebenaran. Dengan demikian corak filsafat al-Kindī adalah teistik, semua kajian tentang teori-teori kefilsafatannya mengandung pendekatan yang teistik. Untuk itu, sebelum memulai kajian tentang teori filsafat, ia membahas filsafat metafisika, dan konsep Tuhan.[11]
Argumentasi kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran al-Kindī dalam menjelaskan ketuhanan. Bagi al-Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak. Alam semesta berjalan secara teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah tentang keesaan. Teologi filsafat al-Kindī memiliki dua aspek utama; pertama, membuktikan harus ada yang Satu yang Benar (the true one), yang merupakan penyebab dari segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the True One ini.[12]
Pertama-tama al-Kindī menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya sendiri. Ia mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakan juz’iyyāt (particular). Kajian filsafat ketuhannannya bukanlah pada juziyyāt yang jumlahnya tak terbatas itu, akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya adalah hakikat dalam partikular itu, yakni kulliyāt (universal). Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat, hakikat sebagai juz’i yang disebut al-aniyah dan hakikat kulli yang disebut māhiyah yakni hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies.[13]
Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah, karena Ia bukan termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam. Tuhan juga tidak mempunyai bentuk mahiyah karena Tuhan tidak termasuk genus atau spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang srupa dengan Tuhan. Ia Dzat yang unik, yang lain bisa mengandung arti banyak.
Al-Kindī berpendapat bahwa setiap jenis predikat menunjukkan kesatuan dan keanekaragaman. Misalnya hewan, adalah salah satu genus, tetapi terdiri dari sebuah keragaman spesies. Manusia adalah satu spesies tetapi terdiri dari banyak individu dan manusia yang tunggal adalah salah satu individu dari individu-individu yang lain terdiri dari banyak bagian tubuh. Selanjutnya, ia beragurmen, keragaman itu memiliki hubungan produk integral. Satu bagian, bukanlah disebabkan oleh stipan serangkaian bagian yang lain. Berarti, harus ada penyebab luar untuk semua keanekaragaman yang integral tersebut, penyebab itu satu, eksklusif dan sepenuhnya bebas dari keragaman yang multi genus. Yang Satu itulah Yang Benar, yang tidak lain adalah Tuhan.
Wujud Tuhan itu adalah eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat, Wujud, eksistensi dan keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh oleh akal manusia. Maka, baginya, untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah Nabi, sebagai utusan Allah, yang akan menjelaskan hal-hal yang tidak mampu disingkap oleh akal manusia. Penjelasan Allah yang dibawa oleh Nabi melalui media yang dinamakan wahyu. Al-Kindī, secara jelas meyakini bahwa rasio manusi memiliki sisi kelemahan. Karena kelemahan itulah, tidak semua pengetahuan tidak bisa ditangkap oleh akal. Maka untuk membantu pemahaman yang tidak bisa dijelaskan akal maka, manusia perlu dibimbing oleh wahyu. Hanya saja, dalam aspek penjelasan sifat-sifat Tuhan, al-Kindī masih terpengaruh oleh Mu’tazilah dan Aristoteles. Hal itu misalnya, dilihat dari penjelasannya bahwa sifat-sifat Tuhan diungkapkan dengan bentuk kalimat negatif, yaitu dengan ungkapan “tidak” atau “bukan”. Bawa Tuhan itu tidak seperti manusia.[14]
Tidak seperti Aristoteles, al-Kindī mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta, bukan penggerak Pertama. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Tuhan adalah Penyebab dari segala sebab. Setelah melakukan sebab itu, Tuhan tetap melakukan sesuatu (‘Illah al-Fā’ilah). Disini Tuhan tidak diposisikan seperti konsep Aristoteles, yang mengatakan Tuhan tidak bergerak, sehingga ia tidak melakukan sesuatu apapun setelah emanasi. Sehingga Tuhan dalam pemahaman Aristoteles tidak memahami yang partikular. Berbeda dengan al-Kindī, menurutnya Tuhan tetap melakukan sesuatu.[15]
Al-Kindī menyebut, Tuhan yang seperti ini dinamakan agen yang benar. Dia menjadi penyebab dan bertindak aktif. Tuhan adalah pelaku yang sebenarnya, sedangkan yang lain adalah pelaku yang metaforis (agen kiasan). Karena, keduanya bertindak dan ditindaklanjuti. Berkaitan dengan teori penciptakan, al-Kindī memiliki keunikan tersendiri. Ia membagi alam menjadi dua, alam atas dan alam bahwah. Secara general, wujud alam tersebut disebabkan oleh Penyebab Pertama, yaitu Tuhan.
Proses keberadaan antara wujud alam atas dan alam bawah ini berbeda Alam atas yang terdiri dari wujud spiritual, seperti akal, jiwa dan ruh. Sedangkan alam bahwah adalah teridiri dari wujud badaniyah manusia, materi bentuk alam dunia dan lain sebagainya. Alam atas sebagai wujud spiritual keberadaanya tidak melaui prosep penciptaan (creation/khalq), akan tetapi ia ada melalui emanasi. Sedangkan alam bawah keberadaannya melalui proses penciptaan.[16]
Namun, analisis secara umum al-Kindī tetap dikatakan bahwa Tuhan baginya adalah pencipta bukan penggerak pertama. Konsep Tuhan sebagai penggerak pertama adalah konsep Aristoteles. Di sini ia berseberangan dengan Aristoteles. Maka, bagi al-Kindī alam dunia mempunyai permulaan, ia diciptakan dari ketiadaan. Alam menurut al-Kindī tidak qadīm. Sedangkan menurut Aristoteles alam adalah qadīm. Yang beremanasi dari sebab pertama adalah alam, dalam arti alam atas tadi.[17]
Alam atas, pada mulanya beremanasi dari Sebab Pertama, bergantung dan berkaitan dengan al-Haq. Tetapi terpisah dari-Nya, karena alam terbatas dalam ruang dan waktu. Berarti, akal atau jiwa setelah terpisah, benar-benar substansi, essensinya berbeda dengan Tuhan. Setelah beremanasi, wujud intelek dan jiwa tadi memiliki genus, spesises, diferensia, sifat dan aksiden. Maka setiap benda terdiri atas materi dan bentuk, terbatas raung dan bergerak dalam waktu. Ia dzat yang terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tidak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal.[18]
Sedang alam dalam konsep Aristoteles, terbatas oleh ruang, tetapi tak terbatas oleh waktu. Sebab gerak alam seabadi dengan Sang Penggerak Tak Tergerakkan (Unmomed Mover). Tuhan bagi Aristoteles adalah Penggerak, akan tetapi Tak Tergerakkan, sebab baginya, jika Tuhan bergerak, maka ia akan berbilang, karena setiap gerak akan melahirkan sifat baru. Terbilangnya sifat menjadikan terbilangnya dzat.[19]
Teori keabadian alam al-Kindī juga berbeda dengan filosof muslim paripatetik setelahnya. Keabadian alam ditolak oleh al-Kindī, karena alam ini diciptakan. Mengenai hal ini, ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara matematik. Benda-benda fisik teridiri atas materi dan bentuk, dan bergerak di dalam ruang dan waktu. Jadi, materi, bentuk, ruang dan waktu merupakan unsur dari setiap fisik. Wujud, yang berkait erat dengan fisik, waktu dan ruang adalah terbatas, karena mereka takkan ada, kecuali dalam keterbatasan.
Waktu bukanlah gerak, melainkan bilangan pengukur gerak karena waktu tidak lain adalah yang dahulu dan yang kemudian. Bilangan ada dua macam, yaitu tersendiri dan berkesinambungan. Waktu bukanlah bilangan tersendiri, tetapi berkesinambungan. Oleh sebab itu, waktu dapat ditentukan, yang berporoses dari dulu hingga kelak. Dengan kata lain, waktu merupakan jumlah yang dahulu dan yang berikutnya, yang berkesinambungan. Waktu adalah bagian dari pengetahuan tentang kuantitas. Ruang, gerak dan waktu adalah kuantitas.[20]


















BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Sebagaimana telah diketahui, Al-Kindi banyak mempelajari filsafat Yunani, maka dalam pemikirannya banyak kelihatan unsur-unsur filsafat Yunani itu. Oleh karena pemikiran Al-Kindi banyak mendapat pengaruh filsafat Yunani, maka sebagian penulis berpendapat bahwa al-Kindi mengambil alih seluruh filsafat Yunani.  Tetapi bila pemikirannya dipelajari dengan seksama, tampak bahwa pada mulanya Al-Kindi mendapat pengaruh pikiran filsafat Yunani, tetapi akhirnya ia mempunyai posisi sendiri. Yang diadopsi oleh al-Kinī adalah peminjaman istilah seperti istilah Filsafat Pertama oleh al-Kindī dalam karyanya dinamakan al-Falsafah al-‘Ūlā, sifat Tuhan diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan negative, serta pembagian alam atas dan alam bawah, agen pertama sebagai Sebab Pertama adalah teori yang diambil dari Neoplatinus. Kesimpulan genaralnya, yang dilakukan al-Kindi adalah adapsi, buktinya ia memiliki gagasan-gagasan baru yang ternyata bersebrangan dengan Aristoteles. Ternyata, sumber utama perbedaaan tersebut pada aspek yang sangat elementer dalam filsafat, yakni konsep Tuhan. Filsafat Ketuhanan al-Kindi berasas metafisika, sedangan filsafat Aristoteles di bangun di atas teori fisika belaka. Ini berarti, konsep Tuhan al-Kindi berdasarkan wahyu sedangan pandangan Aristoteles yang anti-metafisik menelurkan sekularisme.
Karena sumber perbedaan itu dari hal yang paling mendasar, maka secara otomatis konsep-konsep lainnya juga akan berbeda. Sebab, bagi al-Kindi, filsafat paling utama adalah mencari yang benar, yakni konsep tentang ketuhanan. Dari beberapa pemikiran filsafat yang ditekuni, akhirnya Al-Kindi berkesimpulan bahwa filsafat Ketuhananlah yang mendapat derajat atau kedudukan yang paling tinggi dibandingkan dengan lainnya. Ia memandang pembahasan mengenai Tuhan adalah sebagai bagian filsafat yang paling tinggi kedudukannya.
DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata, (1993), Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta.
Ahmad Daudy, (1986), Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Dedi Supriyadi, (2009), Pengantar Filsafat Islam;Konsep Filsuf dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia.
Hamid Fahmi Zarkasyi,The Nature of God in Aristotle’s Natural Theologi, hal. 40 dalam Jurnal Tsaqafah Vol. 4 No. 1 Zulqa’dah 1428 H.
Muhammad Abdul Hadi Abu Zaidah, (1950), Rasāil al-Kindī al-Falsafiyah, Saudi Arabia: Dar al-Fikr al-‘Arabiy.
MM. Syarif, (2003), Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan.
Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, (2003),  Atlas Budaya Menjelajah Khasanah Peradaban Gemilang Islam.terj. oleh Ilyas Hasan, Bandung: Mizan.
Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leamen, (2003), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung: Mizan.


 


[1]Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta, 1993. hal. 102-106.
[2]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 102-104.
[3]Muhammad Abdul Hadi Abu Zaidah, Rasāil al-Kindī al-Falsafiyah, (Saudii Arabia: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1369 H/1950 M), hal. 97.
[4]Ibid., hal. 98.
[5]MM. Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 17.
[6]Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam;Konsep Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 63.
[7]Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Menjelajah Khasanah Peradaban Gemilang Islam.terj. oleh Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 337.
[9]Ibid.
[10]Dedi Supriadi, Op.Cit., hal. 56.
[11]Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leamen, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 210.
[12]Ibid.
[13]Dedi Supriadi, Op.cit., hal. 56.
[14]Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leamen, Op.Cit. , hal. 213.
[15]Hamid Fahmi Zarkasyi,The Nature of God in Aristotle’s Natural Theologi, hal. 40 dalam Jurnal Tsaqafah Vol. 4 No. 1 Zulqa’dah 1428 H.
[17]Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leamen, Op.Cit. , hal. 214.
[19]Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leamen, Op.Cit., hal. 215.
[20]Ibid., hal. 219.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar