BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Kindī (185-260 H) dikenal
sebagai filosof muslim yang berusaha mengkompromikan antara teori filsafat dan
agama dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu yang benar (knowledge of the
truth). Ia dikenal sebagai filosof yang pertama kali membwa sistem
pemikiran yang berdasarkan logika filsafat Yunani. Tujuan filsafatnya adalah
mencari yang benar. Mencari yang benar itu menurut al-Kindī tidak lain sama
halnya dengan yang dipraktikkan dalam mempelajari agama. Kajian tentang sesuatu
yang benar abolut ini bagi al-Kindī adalah pengkajian konsep Tuhan.
Konsep ketuhanan al-Kindī
dibangun atas dasar metafisika. Hal ini yang membedakan dengan filosof
Yunani, Aristoteles. Dalam beberapa hal, doktrin-doktrin filosofisnya dan
segi peritilahan, al-Kindī mengadopsi dari Aristoteles, akan tetapi hal
tersebut tidak diambil secara penuh oleh al-Kindī, akan tetapi diadapsi dan
disaring sehingga hasil ijtihadnya berbeda dari sumber asalnya.
Maka, konsep-konsep yang
lainnya yang diturunkan dari konsep Tuhan akan hadir dalam bentuk berbeda pula.
Filsafat al-Kindī memiliki kekhasan sendiri, produk ijtihadnya akan membedakan
baik dengan Aristoteles maupun filosof muslim setelahnya. Bahkan filasafat
al-Kindī memiliki corak sendiri. Orientasi Filsafat, tentang Keesaan Tuhan,
teori penciptaan alam adalah diantara aspek yang berseberangan dengan filsafat
Yunani.
Meskipun begitu, pemikiran
al-Kindī yang dikatakan mirip dengan sistem rasionalitas Mu’tazilah mendapat
kritikan oleh para ulama’. Karyanya yang berjudul Risālah fi Hudūd al-Asyya’
yang berbicara eksistensi alam yang dianggap bersumber dari tradisi Yunani dan
adapsi Mu’tazilah ditentang kaum muslim. Walau begitu, beberapa pemikirannya
tetap perlu diapresiasi terutama yang memberi sumbangan kepada sains Islam,
seperti teori optikanya yang dirujuk oleh ilmuan Barat, Roger Bacon, yang
diterjemahkan ke bahasa latin. Secara khusus, tulisan ini mengkaji konsep
ketuhanan menurut al-Kindī, sebelum itu, akan dipaparkan terlebih dahulu latar
belakang sosial-intelektual al-Kindī.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat di rumuskan suatu masalah antara lain:
1.
Bagaimana Biografi Singkat Tentang Al-Kindi?
2.
Bagaimana pemikiran Al-Kindi tentang Filsafat
dan Agama?
3.
Bagaimana pemikiran Al-Kindi tentang Tuhan?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penulisan makalah ini antara lain adalah untuk mengetahui:
1. Biografi
Singkat Tentang Al-Kindi.
2. Pemikiran
Al-Kindi tentang Filsafat dan Agama.
3. Pemikiran
Al-Kindi tentang Tuhan.
BAB
II
PEMIKIRAN
FILSAFAT AL-KINDI TENTANG FILSAFAT AGAMA
DAN
HAKIKAT TUHAN
A. Sejarah
Singkat Al-Kindi
Al-Kindi memiliki nama lengkap, yaitu Abu
Yusuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi. Lahir di kota
Kufah, Irak pada tahun 801 M/185 H. Al-Kindi merupakan seorang bangsawan. Gelar
al-Kindi dinisbatkan pada nama suku Kindah di wilayah Arabia Selatan. Ayahnya,
Ishaq, adalah gubernur Kufah di masa pemerintahan al-Mahdi (775-785) dan
al-Rasyid (786-809). Al-Kindi adalah filosof Arab pertama yang memelopori
penerjemahan sekaligus mengenalkan tulisan atau karya-karya para filosof Yunani
seperti Aristoteles dan Plotinus, Sayangnya ada sebuah karya Plotinus yang di
terjemahkannya sebagai karangan Aristoteles dan berjudul ”Teologi menurut
Aristoteles”, sehingga di kemudian hari ada sedikit kebingungan. Al-Kindi
banyak berperan terutama pada abad pertengahan di masa pemerintahan khalifah
al-Ma`mun (813-833) yang mengundangnya untuk mengajar di Baitul Hikmah.
Al-Kindi hidup di masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, mulai dari khalifah
al-Amin (809-813), al-Ma`mun (813-833), al-Mu’tashim (833-842), al-Watsiq
(842-847), dan al-Mutawakkil (847-861).[1]
Al-Kindi hidup dalam atmosfer
intelektualisme yang dinamis saat itu, khususnya di Baghdad dan Kufah, yang
berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan: filsafat, geometri, astronomi,
kedokteran, matematika, dan sebagainya. Al-Kindi tidak hanya dikenal sebagai
penerjemah, tetapi juga menguasai beragam disiplin ilmu lainnya, seperti
kedokteran, matematika, dan astronomi. Al-Kindi berhasil mengubah sekaligus
mengembangkan beberapa istilah yang menarik perhatian para filosof sesudahnya,
seperti: kata al-jirm menjadi al-jism; kata at-tawahhum (imaginasi) menjadi
at-takhayyul; kata at-thīnah menjadi al-māddah; dan sebagainya.[2]
Ketika khalifah al-Mutawakkil memerintah,
mazhab resmi negara (yang sebelumnya menganut mazhab/aliran Mu’tazilah) diganti
menjadi Asy’ariyah. Dua orang putra Ibnu Syakir, Muhammad dan Ahmad, mencoba
menghasut al-Mutawakkil dengan mengatakan bahwa orang yang mempelajari filsafat
cenderung kurang hormat pada agama. Al-Mutawakkil kemudian memerintahkan agar
al-Kindi didera dan perpustakaannya yang bernama Kindiyyah disita (meski
kemudian dikembalikan). Al-Kindi meninggal pada tahun 866 M/252 H.
B. Pemikiran
Al-Kindi tentang Filsafat dan Agama
Menurut
al-Kindī filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang yang benar (knowledge of
truth). Konsepsi filsafat al-Kindī secara umum memusatkan pada penjelasan
tentang metafisika dan studi tentang kebenaran. Pencapaian kebenaran menurut
al-Kindī adalah dengan filsafat. Oleh sebab itu, ilmu filsafat menurut al-Kindī
adalah ilmu yang paling mulya. Ia mengatakan:”Sesunggunghnya ilmu manusia
yang derajatnya paling mulya adalah ilmu filosof. Dengan ilmu ini hakikat ilmu
didefinisikan, dan tujuan filosof memperlajari filsafat adalah mengetahui
Al-Haq (Allah)”.[3]
Sedangkan ilmu filsafat yang paling mulya dan paling tinggi derajatnya adalah
Filsafat yang Pertama (Falsafah al-‘Ūlā). Yakni ilmu tentang al-Haq
al- Ūlā yang menjadi Sebab segala sesuatu (‘illah kulli syai’)
yang tidak lain adalah Tuhan Allah SWT.[4]
Pada
asas pokok filsafatnya ini, al-Kindī mempertemukan dengan agama. Dalam arti,
bahwa tujuan filsafatnya dan tujuan pokok agama adalah sama, yakni keduanya
adalah ilmu dalam rangka mencapai kepada yang benar. Kejelasan hubungan antar
keduanya dapat dilihat dari penjelasan al-Kindī, bahwa dasar antar filsafat dan
agama memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut terdapat dalam empat hal; pertama,
ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, kedua, wahyu yang diturunkan kepada
Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian, ketiga, menurut ilmu, secara
logika diperintahkan dalam agama dan keempat, teologi adalah bagian dari
filsafat dan umat Islam wajib belajar teologi juga filsafat.[5]
Bagi
al-Kindī, filsafat Islam didasarkan kepada al-Qur’ān. Al-Qur’ān memberikan
pemecahan-pemecahan atas masalah yang hakiki, misalnya tentang teori
penciptaan, hari kebangkitan, kiamat dsb. Hal tersebut menurut al-Kindī sangat
meyakinkan, jelas dan menyeluruh, sehingga al-Qur’ān telah mengungguli
dalih-dalih para filsuf.[6]
Dengan
pemikirannya tersebut, ilmu filsafat oleh al-Kindī ditempatkan sebagai bagian
dari budaya Islam. Meskipun dalam beberapa teoritik, ia mengadopasi dari
Aristoteles Neo-Platonis, akan tetapi gagasan-gagasannya dari mengintegrasikan
filsafat dan agama itu menghasilkan gagasan baru. Tampak sekali, ia berusahan
mendamaikan antara warisan Yunani yang tidak bertentangan dengan syari’at
dengan agama Islam, dengan asas-asas yang berdasarkan metafisik, bukan fisik
belaka. Ia menggunakan istilah-istilah filsafat Yunani yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab. Dia dikenal orang yang pertama menyususn kosa kata Arab
untuk istilah-istilah filsafat dan menetapkan definisi berbagai kategori. Untuk
tujuan ini dia menulis sebuah buku Risālah fī Hudūd al-Asyyā wa Rusūmihā.[7]
Karena
asas yang dibangun di atasnya adalah agama, maka ia menyatakan bahwa filsafat
mengikuti jalur ahli logika dan memandang bahwa agama sebagai sebuah ilmu rabbāniyah
dan memposisikannya di atas filafat. Ilmu ini diambil melalui jalur para Nabi.
Melalui penafsiran filosofis, agama menjadi selaras dengan filsafat. Pencapaian
kebenaran agama, disamping dengan wahyu, sebagai sumber pokok ilmu pengetahuan
juga mempergunakan akal. Sedangakan falsafah juga mempergunakan akal, bahkan
falsafah al-Kindī juga mendasarkan pada wahyu, hal itu dibuktikan dalam
beberapa konsep dan teorinya secara diametral bersebarangan dengan konsepsi
Aristoteles maupun Plato, seperti konsep keesaan Tuhan, alam, dan penciptaan
dari ketiadaan.
Jika
konsep kunci (konsep Tuhan) berseberangan dengan filsafat Aristoteles, berarti
pandangan hidup (worldview) – nya juga berbeda. Sebab, sebuah teori atau
konsep lahir dari worldview seseorang dan akan menjadi perbeda teori
tersebut jika pandangannya tentang Tuhan berbeda. Thomas F Wall mengatakan,
percaya pada Tuhan berimplikasi pada kepercayaan bahwa sumber pengetahuan dan
moralitas adalah Tuhan dan sebaliknya tidak percaya pada Tuhan akan
menghasilkan kepercayaan bahwa sumber pengetahuan adalah subyektifitas manusia.[8]
Dalam
konteks epistemologi Islam, Tuhan adalah tema sentral. Ia adalah sumber
kebenaran yang utama yang mutlak. Maka, filsafat al-Kindī bisa dikatakan telah
memasuki konteks ini. Sebab, ia memberi penekanan pada konsep keilahian.
Ia mengatakan filsafat yang pertama (al-Falsafah al-Ūlā) adalah
pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan penyebab dari semua kebenaran.[9]
Sang
Penyebab semua sebab itulah adalah Tuhan. Dengan demikian, filsafat al-Kindī
adalah membahas soal Tuhan dan agama menjadi dasar filsafatnya. Dengan demikian
kerja filsafat yang dilakukan al-Kindī adalah mengharmonisasi antara fislafat
dan agama, bahwa antar keduanya tidak ada perbedaan yang kontras. Ia mengatakan
“Falsafah yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah falsafah utama,
yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang
benar”.[10]
Hal ini yang membedakan dengan orientasi filafat Aristotele, bahwa filsafat
adalah ilmu tentang wujud karena yang wujud memiliki kebenaran. Berarti,
orienatasi filsafat al-Kindī adalah metafisik sedangan Aristotele adalah
dibangun di atas teori fisika.
C. Pemikiran
Al-Kindi tentang Hakikat Tuhan
Tuhan
menurut Al-Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa,
Azali, ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia
hanyalah keEsaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak.
Pembahasan utama filasfatnya adalah tentang konsep ketuhanan. Karena filsafat
menurutnya, adalah menyelidiki kebenaran, maka filafat pertamanya adalah
pengetahuan tentang Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq al-Awwal),
Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wāhid) dan penyebab semua kebenaran.
Dengan demikian corak filsafat al-Kindī adalah teistik, semua kajian tentang
teori-teori kefilsafatannya mengandung pendekatan yang teistik. Untuk itu,
sebelum memulai kajian tentang teori filsafat, ia membahas filsafat metafisika,
dan konsep Tuhan.[11]
Argumentasi
kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran al-Kindī dalam menjelaskan
ketuhanan. Bagi al-Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab
kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah
sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab
dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak.
Alam semesta berjalan secara teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga
konsep sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah tentang keesaan.
Teologi filsafat al-Kindī memiliki dua aspek utama; pertama, membuktikan harus
ada yang Satu yang Benar (the true one), yang merupakan penyebab dari
segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the True One ini.[12]
Pertama-tama
al-Kindī menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya sendiri. Ia
mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakan juz’iyyāt (particular).
Kajian filsafat ketuhannannya bukanlah pada juziyyāt yang jumlahnya tak
terbatas itu, akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya adalah hakikat
dalam partikular itu, yakni kulliyāt (universal). Tiap-tiap benda
memiliki dua hakikat, hakikat sebagai juz’i yang disebut al-aniyah dan
hakikat kulli yang disebut māhiyah yakni hakikat yang bersifat
universal dalam bentuk genus dan spesies.[13]
Tuhan
tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah, karena Ia
bukan termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam. Tuhan juga tidak
mempunyai bentuk mahiyah karena Tuhan tidak termasuk genus atau spesies.
Tuhan hanya satu dan tidak ada yang srupa dengan Tuhan. Ia Dzat yang unik, yang
lain bisa mengandung arti banyak.
Al-Kindī
berpendapat bahwa setiap jenis predikat menunjukkan kesatuan dan
keanekaragaman. Misalnya hewan, adalah salah satu genus, tetapi terdiri dari
sebuah keragaman spesies. Manusia adalah satu spesies tetapi terdiri dari
banyak individu dan manusia yang tunggal adalah salah satu individu dari
individu-individu yang lain terdiri dari banyak bagian tubuh. Selanjutnya, ia
beragurmen, keragaman itu memiliki hubungan produk integral. Satu bagian,
bukanlah disebabkan oleh stipan serangkaian bagian yang lain. Berarti, harus
ada penyebab luar untuk semua keanekaragaman yang integral tersebut, penyebab
itu satu, eksklusif dan sepenuhnya bebas dari keragaman yang multi genus. Yang
Satu itulah Yang Benar, yang tidak lain adalah Tuhan.
Wujud
Tuhan itu adalah eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat, Wujud,
eksistensi dan keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh oleh
akal manusia. Maka, baginya, untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah Nabi,
sebagai utusan Allah, yang akan menjelaskan hal-hal yang tidak mampu disingkap
oleh akal manusia. Penjelasan Allah yang dibawa oleh Nabi melalui media yang dinamakan
wahyu. Al-Kindī, secara jelas meyakini bahwa rasio manusi memiliki sisi
kelemahan. Karena kelemahan itulah, tidak semua pengetahuan tidak bisa
ditangkap oleh akal. Maka untuk membantu pemahaman yang tidak bisa dijelaskan
akal maka, manusia perlu dibimbing oleh wahyu. Hanya saja, dalam aspek
penjelasan sifat-sifat Tuhan, al-Kindī masih terpengaruh oleh Mu’tazilah dan
Aristoteles. Hal itu misalnya, dilihat dari penjelasannya bahwa sifat-sifat
Tuhan diungkapkan dengan bentuk kalimat negatif, yaitu dengan ungkapan “tidak”
atau “bukan”. Bawa Tuhan itu tidak seperti manusia.[14]
Tidak
seperti Aristoteles, al-Kindī mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta, bukan
penggerak Pertama. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh.
Tuhan adalah Penyebab dari segala sebab. Setelah melakukan sebab itu, Tuhan
tetap melakukan sesuatu (‘Illah al-Fā’ilah). Disini Tuhan tidak
diposisikan seperti konsep Aristoteles, yang mengatakan Tuhan tidak bergerak,
sehingga ia tidak melakukan sesuatu apapun setelah emanasi. Sehingga Tuhan
dalam pemahaman Aristoteles tidak memahami yang partikular. Berbeda dengan
al-Kindī, menurutnya Tuhan tetap melakukan sesuatu.[15]
Al-Kindī
menyebut, Tuhan yang seperti ini dinamakan agen yang benar. Dia menjadi
penyebab dan bertindak aktif. Tuhan adalah pelaku yang sebenarnya, sedangkan
yang lain adalah pelaku yang metaforis (agen kiasan). Karena, keduanya
bertindak dan ditindaklanjuti. Berkaitan dengan teori penciptakan, al-Kindī
memiliki keunikan tersendiri. Ia membagi alam menjadi dua, alam atas dan alam
bahwah. Secara general, wujud alam tersebut disebabkan oleh Penyebab Pertama,
yaitu Tuhan.
Proses
keberadaan antara wujud alam atas dan alam bawah ini berbeda Alam atas yang
terdiri dari wujud spiritual, seperti akal, jiwa dan ruh. Sedangkan alam bahwah
adalah teridiri dari wujud badaniyah manusia, materi bentuk alam dunia dan lain
sebagainya. Alam atas sebagai wujud spiritual keberadaanya tidak melaui prosep
penciptaan (creation/khalq), akan tetapi ia ada melalui emanasi.
Sedangkan alam bawah keberadaannya melalui proses penciptaan.[16]
Namun,
analisis secara umum al-Kindī tetap dikatakan bahwa Tuhan baginya adalah
pencipta bukan penggerak pertama. Konsep Tuhan sebagai penggerak pertama adalah
konsep Aristoteles. Di sini ia berseberangan dengan Aristoteles. Maka, bagi
al-Kindī alam dunia mempunyai permulaan, ia diciptakan dari ketiadaan. Alam
menurut al-Kindī tidak qadīm. Sedangkan menurut Aristoteles alam adalah qadīm.
Yang beremanasi dari sebab pertama adalah alam, dalam arti alam atas tadi.[17]
Alam
atas, pada mulanya beremanasi dari Sebab Pertama, bergantung dan berkaitan
dengan al-Haq. Tetapi terpisah dari-Nya, karena alam terbatas dalam
ruang dan waktu. Berarti, akal atau jiwa setelah terpisah, benar-benar
substansi, essensinya berbeda dengan Tuhan. Setelah beremanasi, wujud intelek
dan jiwa tadi memiliki genus, spesises, diferensia, sifat dan aksiden. Maka
setiap benda terdiri atas materi dan bentuk, terbatas raung dan bergerak dalam
waktu. Ia dzat yang terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud dunia.
Karena terbatas, ia tidak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal.[18]
Sedang
alam dalam konsep Aristoteles, terbatas oleh ruang, tetapi tak terbatas oleh
waktu. Sebab gerak alam seabadi dengan Sang Penggerak Tak Tergerakkan (Unmomed
Mover). Tuhan bagi Aristoteles adalah Penggerak, akan tetapi Tak
Tergerakkan, sebab baginya, jika Tuhan bergerak, maka ia akan berbilang, karena
setiap gerak akan melahirkan sifat baru. Terbilangnya sifat menjadikan
terbilangnya dzat.[19]
Teori
keabadian alam al-Kindī juga berbeda dengan filosof muslim paripatetik
setelahnya. Keabadian alam ditolak oleh al-Kindī, karena alam ini diciptakan.
Mengenai hal ini, ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan
tentang ketakterhinggaan secara matematik. Benda-benda fisik teridiri atas
materi dan bentuk, dan bergerak di dalam ruang dan waktu. Jadi, materi, bentuk,
ruang dan waktu merupakan unsur dari setiap fisik. Wujud, yang berkait erat
dengan fisik, waktu dan ruang adalah terbatas, karena mereka takkan ada,
kecuali dalam keterbatasan.
Waktu
bukanlah gerak, melainkan bilangan pengukur gerak karena waktu tidak lain
adalah yang dahulu dan yang kemudian. Bilangan ada dua macam, yaitu tersendiri
dan berkesinambungan. Waktu bukanlah bilangan tersendiri, tetapi
berkesinambungan. Oleh sebab itu, waktu dapat ditentukan, yang berporoses dari
dulu hingga kelak. Dengan kata lain, waktu merupakan jumlah yang dahulu dan yang
berikutnya, yang berkesinambungan. Waktu adalah bagian dari pengetahuan tentang
kuantitas. Ruang, gerak dan waktu adalah kuantitas.[20]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana
telah diketahui, Al-Kindi banyak mempelajari filsafat Yunani, maka dalam
pemikirannya banyak kelihatan unsur-unsur filsafat Yunani itu. Oleh karena
pemikiran Al-Kindi banyak mendapat pengaruh filsafat Yunani, maka sebagian
penulis berpendapat bahwa al-Kindi mengambil alih seluruh filsafat Yunani. Tetapi bila pemikirannya dipelajari dengan
seksama, tampak bahwa pada mulanya Al-Kindi mendapat pengaruh pikiran filsafat
Yunani, tetapi akhirnya ia mempunyai posisi sendiri. Yang diadopsi oleh al-Kinī
adalah peminjaman istilah seperti istilah Filsafat Pertama oleh al-Kindī dalam
karyanya dinamakan al-Falsafah al-‘Ūlā, sifat Tuhan diungkapkan dengan
ungkapan-ungkapan negative, serta pembagian alam atas dan alam bawah, agen
pertama sebagai Sebab Pertama adalah teori yang diambil dari Neoplatinus.
Kesimpulan genaralnya, yang dilakukan al-Kindi adalah adapsi, buktinya ia
memiliki gagasan-gagasan baru yang ternyata bersebrangan dengan Aristoteles.
Ternyata, sumber utama perbedaaan tersebut pada aspek yang sangat elementer
dalam filsafat, yakni konsep Tuhan. Filsafat Ketuhanan al-Kindi berasas
metafisika, sedangan filsafat Aristoteles di bangun di atas teori fisika
belaka. Ini berarti, konsep Tuhan al-Kindi berdasarkan wahyu sedangan pandangan
Aristoteles yang anti-metafisik menelurkan sekularisme.
Karena
sumber perbedaan itu dari hal yang paling mendasar, maka secara otomatis
konsep-konsep lainnya juga akan berbeda. Sebab, bagi al-Kindi, filsafat paling
utama adalah mencari yang benar, yakni konsep tentang ketuhanan. Dari beberapa
pemikiran filsafat yang ditekuni, akhirnya Al-Kindi berkesimpulan bahwa
filsafat Ketuhananlah yang mendapat derajat atau kedudukan yang paling tinggi
dibandingkan dengan lainnya. Ia memandang pembahasan mengenai Tuhan adalah
sebagai bagian filsafat yang paling tinggi kedudukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abudin
Nata, (1993), Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV),
Rajawali Pers, Jakarta.
Ahmad Daudy, (1986), Kuliah Filsafat Islam,
Jakarta: Bulan Bintang.
Dedi
Supriyadi, (2009), Pengantar Filsafat Islam;Konsep Filsuf dan Ajarannya,
Bandung: Pustaka Setia.
Hamid
Fahmi Zarkasyi,The Nature of God in Aristotle’s Natural Theologi, hal.
40 dalam Jurnal Tsaqafah Vol. 4 No. 1 Zulqa’dah 1428 H.
http://koir.multiply.com/journal/item/32/PEMILIRAN_FILSAFAT_AL-KINDI,
diakses tanggal 31 Maret 2011.
http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=658:filsafat-dan-konsep-ketuhanan-menurut-al-kindi&catid=1:fikih-dan-syariah&Itemid=101, diakses tanggal 30 Maret 2011.
Muhammad
Abdul Hadi Abu Zaidah, (1950), Rasāil al-Kindī al-Falsafiyah, Saudi
Arabia: Dar al-Fikr al-‘Arabiy.
MM.
Syarif, (2003), Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan.
Isma’il
R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, (2003), Atlas Budaya Menjelajah Khasanah Peradaban
Gemilang Islam.terj. oleh Ilyas Hasan, Bandung: Mizan.
Sayyed
Hossein Nasr dan Oliver Leamen, (2003),
Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung: Mizan.
[1]Abudin
Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali
Pers, Jakarta,
1993. hal. 102-106.
[2]Ahmad Daudy, Kuliah
Filsafat Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 102-104.
[3]Muhammad
Abdul Hadi Abu Zaidah, Rasāil al-Kindī al-Falsafiyah, (Saudii Arabia:
Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1369 H/1950 M), hal. 97.
[4]Ibid.,
hal. 98.
[5]MM.
Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 17.
[6]Dedi
Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam;Konsep Filsuf dan Ajarannya,
(Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 63.
[7]Isma’il
R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Menjelajah Khasanah
Peradaban Gemilang Islam.terj. oleh Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 2003),
hal. 337.
[9]Ibid.
[10]Dedi
Supriadi, Op.Cit., hal. 56.
[11]Sayyed
Hossein Nasr dan Oliver Leamen, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), hal. 210.
[12]Ibid.
[13]Dedi
Supriadi, Op.cit., hal. 56.
[14]Sayyed
Hossein Nasr dan Oliver Leamen, Op.Cit. , hal. 213.
[15]Hamid
Fahmi Zarkasyi,The Nature of God in Aristotle’s Natural Theologi, hal.
40 dalam Jurnal Tsaqafah Vol. 4 No. 1 Zulqa’dah 1428 H.
[16]http://koir.multiply.com/journal/item/32/PEMILIRAN_FILSAFAT_AL-KINDI,
diakses tanggal 31 Maret 2011.
[17]Sayyed
Hossein Nasr dan Oliver Leamen, Op.Cit. , hal. 214.
[19]Sayyed
Hossein Nasr dan Oliver Leamen, Op.Cit., hal. 215.
[20]Ibid.,
hal. 219.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar