Sabtu, 09 Juni 2012

PEMIKIRAN IKHWAN ASH-SHOFFA TENTANG AL-MANASI KETUHANAN DAN ILMU


PEMIKIRAN IKHWAN ASH-SHOFFA
TENTANG AL-MANASI KETUHANAN DAN ILMU

A.     Sejarah Ikhwan Ash-Shoffa
Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan al-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.[1]
Dalam Wikipedia disebutkan, Ikhwan as-Shafa (اخوان الصفا) berarti (Persaudaraan Kemurnian) adalah organisasi rahasia yang aneh dan misterius[2] yang terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak-yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah-di sekitar abad ke-10 Masehi. Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal dengan Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah nama yang diusulkan untuk mereka sandang sebagaimana termaktub dalam bab ”Merpati Berkalung” dan Kalilah wa Dimnah, sebuah buku yang sangat mereka hormati. Ikhwan al-Shafa berhasil merahasiakan nama mereka secara seksama. Namun Abu Hayyan al-Tauhidi menyebutkan, sekitar tahun 373H/983M lima orang dari kelompok Ikhwan al-Shafa seperti, Abu Sulaiman Muhammad bin Ma’syar al-Busti, yang dikenal dengan al-Muqaddisi, Abu al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjani, Abu Ahmad Muhammad al-Mihrajani, al-Aufi, dan Zaid bin Rifa’ah yang terkenal itu.[3]
Karya monumental Ikhwan al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail Ikhwan al-Shafa. Rasail Ikhwan Ash-Shofa wa Khilan al-Wafa didirikan pada abad ke 4 H yang dikarang oleh 10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi mereka merahasiakan identitasnya.[4] Rasail ini terdiri 51 risalah (Epistle) yang dilengkapi dengan ikhtisar di bagian akhirnya. Diduga kuat, ikhtisar ini digarap oleh Al-Majriti (w.1008). Konon, Al-Majriti pula yang pertama-tama membawa ajaran Ikhwan al-Shafa di daratan Spanyol. Ensiklopedi ini secara garis besar, dapat dibagi menjadi empat kelompok:
Kelompok pertama, berisi empat belas risalah ”matematis” tentang angka. Oleh kalangan Ikhwan al-Shafa, angka dianggap alat penting untuk mengkaji filsafat ”sebab ilmu angka akar semua sains, saripati kebijaksanaan, sumber kognisi, dan unsur pembentuk makna. Risalah dalam kelompok ini memuat bagian (1) pendahuluan, disusul dengan (2) geometri, (3) astronomi, (4) musik, (5) geografi, (6) ”proporsi-proporsi harmonik”, (7 dan 8) tentang seni-seni teoritis dan praktis, dan (9) etika.
Kelompok kedua, terdiri atas tujuh belas risalah yang membahas ”persoalan fisik-materiil”. Secara kasar, semua risalah tersebut berkaitan dengan karya-karya fisika Aristoteles. Sedikit tambahan ihwal psikologi, epistemologi, dan linguistik yang tidak terdapat dalam korpus Aristotelian, juga masuk dalam kelompok ini.
Kelompok ketiga, terdiri atas sepuluh risalah ”psikologis-rasional” yang membahas prinsip-prinsip intelektual, intelek itu sendiri, hal-hal kawruhan (intelligibles), hakikat cinta erotik (’isyq), hari kebangkitan, dan sebagainya.
Kelompok keempat, terdiri atas empat belas risalah yang membahas cara mengenal Tuhan, akidah dan pandangan hidup Ikhwan al-Shafa, sifat hukum Ilahi, kenabian, tindakan-tindakan makhluk halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan terakhir hakikat teluh, azimat, dan aji-aji.[5]
Dari isi ensiklopedi tersebut dapat ditafsirkan bahwa Ikhwan al-Shafa mencoba melakukan penjelasan-penjelasan yang terkait dengan agama dan ilmu pengetahuan (filsafat dan sains). Sedangkan karya yang erat hubungannya dengan Rasail adalah al-Risalat al-Jami’ah (Risalah Komprehensif) yang merupakan sebuah summarium (Ikhtisar, Ringkasan) dan summa dari karya aslinya. Selanjutnya, Jami’ah pun diikhtisarkan dalam Risalat al-Jami’ah al-Jami’ah au al-Zubdah min Rasail Ikhwan al-Shafa (Kondensasi dari Risalah Komprehensip atau Krim dari Rasail Ikhwan al-Shafa), yang juga dinamai al-Risalat al-Jami’ah.[6]

B.     Pemikiran Ikhwan Ash-Shoffa tentang Al-Manasi Ketuhanan
Ikhwan al-Shafa adalah Muslim. Namun mereka memiliki interpretasi tersendiri mengenai agama pada umumnya dan tentang Islam pada khususnya. Corak Syi’ah yang amat tampak dalam kegiatan misioner memang dramatis sebab ini sangat membantu mereka menyentuh emosi massa. Secara historis, sebetulnya Ikhwan al-Shafa tidak termasuk ke dalam sekte manapun. Sebetulnya mereka hanya berupaya dengan dibantu Islam dan filsafat Yunani, untuk menanamkan doktrin spiritual yang dapat menggantikan agama-agama historis dan yang, pada waktu yang sama, dapat diterima oleh semua orang serta tidak menyinggung perasaan siapa pun.[7]
Ikhwan al-Shafa memandang agama sebagai sebuah din, yaitu kebiasaan atau kepatuhan kepada seorang pemimpin yang telah diakui. Agama sangat diperlukan sebagai sanksi sosial dalam mengatur massa, dalam mensucikan jiwa, dan dikarenakan semua manusia sebelum lahirnya pun sudah bertabiat untuk beragama dan berbuat kebajikan. Dalam pengertian ini agama adalah satu untuk semua orang dan segala bangsa.
Hukum (Arab: Syari’ah atau namus, dari kata Yunani: nomos, hukum) oleh Ikhwan al-Shafa adalah apa yang kita maksud dengan agama sekarang (dalam istilah kita agama sama dengan hukum dalam istilah Ikhwan). Hukum-hukum itu beraneka ragam disesuaikan dengan beragamnya komunitas, kelompok, dan individu). Hukum ini diajarkan oleh orang-orang bijak yang ada di setiap bangsa demi kemaslahatan bangsa-bangsa yang bersangkutan. Atas dasar ini, Ikhwan al-Shafa menyatakan bahwa segala tema metafisika di dalam kitab-kitab suci misalnya mengenai penciptaan, mengenai Adam, Setan, pohon pengetahuan, kebangkitan kembali, Hari Perhitungan, neraka, dan surga harus dianggap sebagai simbol-simbol dan harus dipahami secara alegoris. Hanya orang-orang awam, yang tidak dapat berpikir mandiri secara memadai, yang memahami tema-tema ini secara harfiah. Tema-tema yang agak ringan, seperti Dia (Allah) menurunkan hujan dari langit (al-Hajj [22]: 63), juga harus dipahami secara simbolik: air dalam konteks ini adalah Al-Qur’an.[8]
Penafsiran Ikhwan al-Shafa terhadap teks Al-Qur’an tersebut lebih bersifat esotoris (secara batin), tafsir-tafsir esoteris atas al-Qur’an pada dasarnya disatukan melalui prinsip simbolisme, sebagaimana dipahami dalam pengertian tradisionalnya. Bahkan, simbolisme berfungsi sebagai kata kunci untuk semua itu sehingga tafsir-tafsir itu juga bisa disebut sebagai “tafsir-tafsir simbolis”. Proses penafsiran simbolis dan espteris disebut ta’wil, yang secara teknis bermakna hermeneutika simbolis dan spiritual. Akan tetapi secara etimologis, ia berarti membawa sesuatu kembali kepada awalnya, yaitu awal atau asal-usulnya; dengan demikian, membawa atau mengikuti simbol-simbol kembali kepada asal-usul yang dilambangkannya.[9] dalam artian pemaknaan Al-Qur’an dengan simbol-simbol. Karena sifat penafsiran Ikhwan al-Shafa yang esotoris ini, mereka dianggap sebagai kelompok aliran kebatinan. Sebagaimana berikut:
Rasail adalah upaya pembentukan sistem agama baru yang menggeser posisi syariat Islam yang telah menjadi “barang antik”. Usaha ini gagal dan menuai banyak kritikan dari ulama-ulama umat yang menjelaskan kesesatan dan kekeliruan mazhab ini. Secara implisit, Rasail mengandung keyakinan-keyakinan filosofis para kaum Bathiniyyah, para filosof, dan kaum Nasionalis, diantaranya:
1.            Pengingkaran kebangkitan manusia dengan jasad-jasadnya di akhirat.
2.            Perbedaan interpretasi surga dan neraka dari pendapat umum yang mutawatir.
3.            Bantahan implikasi setan seperti yang dipahami umat Islam, menurut mereka setan itu konotasi makhluk-makhluk jahat yang menerawang di orbit bulan dan kawan-kawannya berupa makhluk-makhluk yang tidak diketahui bentuknya di kehidupan dunia.
4.            Interpretasi makna kafir dan azab secara maknawi.
5.            Keyakinan bahwa derajat kenabian bisa dicapai dengan latihan dan kesucian hati.
6.            Statemen berbunyi siapa yang telah mencapai alam batin maka berarti dia sudah terbebas dari praktek ibadah/syariat.
7.            Kecondongan pada keyakinan Syi’ah seperti kemaksuman Imam, taqiyah (berbohong demi kebenaran), mendirikan negara dari ahli bait (keturunan Nabi).
8.            Seruan terhadap pluralisme agama serta pelarangan fanatisme terhadap agama tertentu. Pendapat seperti ini banyak diilhami dari utopia peninggalan-peninggalan para dukun dan orang-orang Yunani. Sekelompok analisis dan orientalis lain lebih condong berpendapat bahwa Rasail ini diadopsi dari Ismailiyyah Bathiniyyah.[10]
Dari pendapat-pendapat di atas, semakin nampak bahwa penafsiran agama yang dilakukan oleh Ikhwan lebih menekankan pada makna esotoris/batiniyah daripada lahiriyah. Bagi mereka, hanya orang-orang awwam yang tidak bisa berpikir mandiri. Penafsiran esotoris ini lebih banyak dipengaruhi oleh paham Syiah.

C.     Pemikiran Ikhwan Ash-Shoffa tentang Ilmu
1.      Klasifikasi Ilmu
Ikhwan al-Shafa membagi cabang pengetahuan menjadi tiga kelas utama, yaitu: matematika, fisika, dan metafisika. Dalam Rasa’il matematika meliputi: teori tentang bilangan, geometri, astronomi, geografi, musik, seni teoritis dan praktis, etika, dan logika. Fisika meliputi: materi, bentuk, gerak, waktu, ruang, langit, generasi, kehancuran, mineral, esensi alam, tumbuhan, hewan, tubuh manusia, indera, kehidupan dan kematian, mikrikosmos, suka, duka, dan bahasa. Metafisika dibagi menjadi psiko-rasionalisme dan teologi. Psiko-rasionalisme. Subdivisi pertama (psiko-rasionalisme) meliputi fisika, rasionalistika, wujud, mikrokosmos, jiwa, tahun-tahun raya, cinta, kebangkitan kembali dan kausalitas. Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.[11]
2.      Cara Mendapatkan Ilmu
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
a.    Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
b.   Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
c.    Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir.[12] Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.[13]
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan. Pandangan ini lebih dekat dengan teori Tabula Rasa John Locke (empirisme). Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.[14]
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.[15]
Pandangan Ikhwan di atas berbeda dengan konsep fitrah dalam pendidikan Islam, bahwa manusia sejak lahir telah membawa potensi dasar (kemampuan dasar untuk beragama) yang diberikan Allah. Jadi, sejak lahir manusia sudah punya modal ”fitrah” tidak layaknya kertas putih (kosong). Modal itulah yang nantinya akan dikembangkan oleh orang tua, masyarakat, sekolah maupun lingkungan cyber universe yang diciptakan oleh kemajuan teknologi informasi (internet).
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.[16]
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori, yaitu; matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan menghantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.[17]
3.      Sosok Ideal Guru
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalah mu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu.
Guru, ustadz, atau mu’addib dalam hal ini berada pada posisi ketiga. Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
a.             Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat kebersihan dalam penampilan batinnya dan berada pada usia kira-kira 25 tahun.
b.            Al-Ru’asa dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang usianya kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara persaudaraan dan bersikap dermawan.
c.             Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan telah berusia 40 tahun.
d.            Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.[18]




DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, (2007),  Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
C.A. Qadir, (1991), Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Hasan Basari, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Majid Fakhry, (2002), Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj.) oleh Zaimul Am, Bandung: Mizan.
Muis Sad Iman,  (2004), Pendidikan Partisipatif, Yogyakarta: Safiria Insania Press.
M.M. Syarif, (2002), Aliran-Aliran Filsafat Islam, Bandung: Nuansa Cendekia.
Samsul Nizar, (2002), Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers.
www.wikipedia.org, diunduh pada hari Minggu, 03 April 2011 jam. 14.58 WIB.
www.Samuderailmufortuna.blogspot.com., diakses tanggal 21 Maret 2011.
www.telagahikmah.org, iunduh 29 Maret 2011 jam 12.14 WIB.


[1]Abuddin Nata,  Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2007), hal. 181.
[2]www.wikipedia.org, diunduh pada hari Minggu, 03 April 2011 jam. 14.58 WIB.
[3]M.M. Syarif, Aliran-Aliran Filsafat Islam, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2004), hal. 183.
[4]www.Samuderailmufortuna.blogspot.com., diakses tanggal 21 Maret 2011.
[5]Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj.) oleh Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 64.
[6]M.M. Syarif, Op.Cit., hal. 185.
[7]Ibid., hal. 186.
[8]Ibid., hal. 214-216.
[9]www.telagahikmah.org, iunduh 29 Maret 2011 jam 12.14 WIB.
[11]M.M. Syarif, Op.Cit., hal. 185.
[12]Ibid., hal. 185-186.
[13]Abuddin Nata, Op.Cit., hal. 184.
[14]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 98- 99.
[15]Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hal 25.
[16]C.A. Qadir, Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Hasan Basari, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), hal. 59.
[17]Ibid. hal. 61.
[18]Syamsul Nizar, Op.cit., hal. 101-102.

MATERI POKOK AJARAN ISLAM SYARIAH DAN FIKIH


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia,Baik Muslim maupun bukan Muslim.Selain berisi hukum dan aturan,Syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini.Maka oleh sebagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.
Fiqih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fiqih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fiqih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana pengertian Syariah?
2.      Bagaimana pengertian Fikih?
3.      Apa perbedaan Syariah dengan Fikih?

C.     Tujuan Masalah
Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengertian Syariah.
2.      Untuk mengetahui pengertian Fikih.
3.      Untuk mengetahui perbedaan Syariah dengan Fikih.




BAB II
MATERI POKOK AJARAN ISLAM SYARIAH DAN FIKIH

A.     Pengertian Syariah
Kata syariah adalah pengindonesiaan dari kata Arab, yakni as-Syarî’ah al-Islâmiyyah. Karena asalnya dari kata Arab maka pengertiannya harus dipahami sesuai dengan pengertian orang-orang Arab sebagai pemilik bahasa itu. Tentu tidak boleh dipahami menurut selera orang Indonesia. Karena yang lebih mengetahui pengertian bahasa itu adalah pemilik bahasa itu sendiri. Jadi orang non arab untuk memahami istilah syariah itu harus merujuk kepada pengertian orang arab.
Menurut Ibn al-Manzhur yang telah mengumpulkan pengertian dari ungkapan dalam bahasa arab asli dalam bukunya Lisân al’Arab. Secara bahasa syariah itu punya beberapa arti. Di antara artinya adalah masyra’ah al-mâ’ (sumber air). Hanya saja sumber air tidak mereka sebut syarî’ah kecuali sumber itu airnya sangat berlimpah dan tidak habis-habis (kering). Kata syarî’ah itu asalnya dari kata kerja syara’a. kata ini menurut ar-Razi dalam bukunya Mukhtâr-us Shihah, bisa berarti nahaja (menempuh), awdhaha (menjelaskan) dan bayyan-al masâlik (menunjukkan jalan). Sedangkan ungkapan syara’a lahum–yasyra’u–syar’an artinya adalah sanna (menetapkan).[1]
Menurut istilah, syariah berarti aturan atau undang-undang yang diturunkan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta.[2]
Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (pembuat hukum) yang berhubung-an dengan perbuatan-perbuatan hamba dan berkaitan dengan iqtidhâ‘ (ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh‘i (kondisi).[3]
Syariah mengatur hidup manusia sebagai individu, yaitu hamba Allah yang harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh syariah Islam. Syariah Islam mengatur pula tata hubungan antara seseorang dengan dirinya sendiri untuk mewujudkan sosok individu yang saleh.

B.     Pengertian Fikih
Al-Ghazali berpendapat bahwa secara literal, fikih (fiqh) bermakna al-‘ilm wa al-fahm (ilmu dan pemahaman).[4]
Sementara itu, secara istilah, para ulama mendefinisikan fikih sebagai berikut:
1.      Fikih adalah pengetahuan tentang hukum syariat yang bersifat praktis (‘amaliyyah) yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci (tafshîlî).
2.      Fikih adalah pengetahuan yang dihasilkan dari sejumlah hukum syariat yang bersifat cabang yang digunakan sebagai landasan untuk masalah amal perbuatan dan bukan digunakan landasan dalam masalah akidah.
3.      Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci.[5]
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat diketahui bahwa Fikih adalah pengetahuan terhadap sejumlah hukum syariat yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci.



C.     Perbedaan Syariah dan Fikih
Meskipun secara luas antara syariah dan Fikih memiliki persamaan yaitu menyangkut masalah hukum, meskipun syariat dan fiqh memiliki ikatan yang kuat dan sulit dipisahkan, namun diantara keduanya terdapat perbedaan mendasar. Kata syariat (asy-syari'ah) secara etimologis berarti sumber/aliran air yang digunakan untuk minum. Dalam perkembangannya, kata syariat digunakan orang Arab untuk mengacu kepada jalan (agama) yang lurus (at-tariqah al-mustaqimah), karena kedua makna tersebut mempunyai keterkaitan makna.
Perbedaan syariah dan Fikih meliputi:
1.      Sumber
Syariah: dari Wahyu Allah,
Hal ini sesuai dengan QS. Al-Jaatsiyah ayat 18 yang berbunyi:
¢OèO y7»oYù=yèy_ 4n?tã 7pyèƒÎŽŸ° z`ÏiB ̍øBF{$# $yg÷èÎ7¨?$$sù Ÿwur ôìÎ7®Ks? uä!#uq÷dr& tûïÏ%©!$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÑÈ  
Artinya: “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.[6]
Dan juga dalam QS. Asy-Syuura ayat 21:
÷Pr& óOßgs9 (#às¯»Ÿ2uŽà° (#qããuŽŸ° Oßgs9 z`ÏiB ÉúïÏe$!$# $tB öNs9 .bsŒù'tƒ ÏmÎ/ ª!$# 4 Ÿwöqs9ur èpyJÎ=Ÿ2 È@óÁxÿø9$# zÓÅÓà)s9 öNæhuZ÷t/ 3 ¨bÎ)ur šúüÏJÎ=»©à9$# öNßgs9 ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇËÊÈ  
Artinya: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang Amat pedih.”[7]
Fikih: berasal dari pemikiran/tafsir akal manusia
Hal inin sesuai dengan Firman Allah dalam QS. Al-Mu'minuun ayat 53:
(#þqãè©Üs)tGsù OèdtøBr& öNæhuZ÷t/ #\ç/ã ( @ä. ¥>÷Ïm $yJÎ/ öNÍköys9 tbqãm̍sù ÇÎÌÈ  
Artinya: “Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).”
2.      Kandungan
Kebenaran Syariah adalah Mutlak (Qoth'i), hal  ini sesuai dengan Firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 147:
,ysø9$# `ÏB y7Îi/¢ ( Ÿxsù ¨ûsðqä3s? z`ÏB tûïÎŽtIôJßJø9$# ÇÊÍÐÈ  
Artinya: “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu Termasuk orang-orang yang ragu.”
Kebenaran berdasarkan Fikih adalah relatif/tergantung kondisi dan situasi sehingga bisa berubah-ubah. Hal ini diutarakan oleh Allah dalam QS. Yunus (10): 36
$tBur ßìÎ7­Gtƒ óOèdçŽsYø.r& žwÎ) $Zsß 4 ¨bÎ) £`©à9$# Ÿw ÓÍ_øóムz`ÏB Èd,ptø:$# $º«øx© 4 ¨bÎ) ©!$# 7LìÎ=tæ $yJÎ/ tbqè=yèøÿtƒ ÇÌÏÈ  
Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.[8] Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”.

3.      Masa Berlakunya
Syariah berlaku sampai dengan Hari Akhir/Kiamat (sempurna/baku) sebagaimana Friman Allah dalam QS AL Hijr (15): 9:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ  
Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.[9]
Fiqh berlaku temporal/lokal artinya, masa berlakunya pada waktu fiqh tersebut dimunculkan, diperlukan pembaharuan/tadjid dan akan berubah sesuai dengan keperluan serta kondisinya.
4.      Untuk siapa
Syariah diperuntukkan kepada umat manusia seluruhnya/universal sebagaimana dalam QS. Saba' (34): 28
!$tBur y7»oYù=yör& žwÎ) Zp©ù!$Ÿ2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #ZŽÏ±o0 #\ƒÉtRur £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ ÇËÑÈ  
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”.
Fikih hanya menimbulkan taqlid/aliran bagi penganutnya.
(#ÿräsƒªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrߊ «!$# yxÅ¡yJø9$#ur šÆö/$# zNtƒötB !$tBur (#ÿrãÏBé& žwÎ) (#ÿrßç6÷èuÏ9 $Yg»s9Î) #YÏmºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd 4 ¼çmoY»ysö7ß $£Jtã šcqà2̍ô±ç ÇÌÊÈ  
Artinya: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah[10] dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.

























BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Syariah mengatur hidup manusia sebagai individu, yaitu hamba Allah yang harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh syariah Islam. Syariah Islam mengatur pula tata hubungan antara seseorang dengan dirinya sendiri untuk mewujudkan sosok individu yang saleh.
Fikih adalah pengetahuan terhadap sejumlah hukum syariat yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci. Meskipun secara luas antara syariah dan Fikih memiliki persamaan yaitu menyangkut masalah hukum, meskipun syariat dan fiqh memiliki ikatan yang kuat dan sulit dipisahkan, namun diantara keduanya terdapat perbedaan mendasar. Kata syariat (asy-syari'ah) secara etimologis berarti sumber/aliran air yang digunakan untuk minum. Dalam perkembangannya, kata syariat digunakan orang Arab untuk mengacu kepada jalan (agama) yang lurus (at-tariqah al-mustaqimah), karena kedua makna tersebut mempunyai keterkaitan makna.

B.     Saran
Semoga dengan makalah ini dapat menambah pengetahuan tentan materi pokok ajaran Islam Syariah dan Fikih.









DAFTAR PUSTAKA

Muhammad AlGhazali, (2008), Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Surabaya: Amelia.
Depag RI, (2007), Al-Qur’an dan Terjemahnya Perkata, Jakarta: Syamil Al-Qur’an.


[3]Ibid.
[4]Muhammad AlGhazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, (Surabaya: Amelia, 2008), hlm. 4.
[6]Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Perkata, (Jakarta: Syamil Al-Qur’an, 2007), hlm. 249.
[7]Ibid., hlm. 237.
[8]Sesuatu yang diperoleh dengan prasangkaan sama sekali tidak bisa mengantikan sesuatu yang diperoleh dengan kepastian/wahyu.
[9]Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
[10]Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.